ISLAM LOVERZ --
Suatu siang di tepi sungai kecil tak bernama di Jalan Sutoyo, Banjarmasin,
seorang anak laki-laki berusia dua tahun sedang asyik bermain-main air menemani
sang ibu yang sedang sibuk mencuci. Tiba-tiba bocah itu tergelincir dan sekejap
kemudian air yang deras sudah menariknya ke tengah sungai. Menyaksikan anaknya
hanyut, tanpa berpikir panjang ibu yang tengah hamil delapan bulan itu langsung
terjun ke sungai. Air sungai yang deras dan dalam tidak membuatnya ciut. Ia
berenang semampunya agar bisa menggapai kaki anak lelaki satu-satunya itu.
Bocah itu sudah tenggelam cukup jauh dan terus meluncur cepat sejalan dengan
derasnya air sungai.
Sekujur tubuhnya tak terlihat dan hanya sesekali kaki anak itu
tampak menjulur ke atas. Sambil terus berenang, wanita muda itu berusaha sekuat
tenaga menggapai kaki anak itu. Ia seakan sudah tidak menghiraukan lagi bahwa
di perutnya tengah ada jabang bayi yang usianya sudah cukup tua.
Syukurlah, usahanya membuahkan hasil. Setelah berenang sekitar
empat meter lebih, ia akhirnya berhasil menangkap kaki putranya. Bocah itu
sudah pucat pasi dan tak sadarkan diri. Beruntung, ibu itu masih merasakan ada
gerak kehidupan di jantungnya. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, ibu
itu menggendong putranya ke pinggir kali. Setelah itu, sang ibu tak sadarkan
diri dan tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.
Perjuangan ibu itu tidak sia-sia. Bocah yang nyaris mati tenggelam itu, kini telah menjadi seorang da’i (penceramah agama) yang sangat kondang. Sejak namanya mulai dikenal, hampir setiap hari K.H. Ustad Muhammad Arifin Ilham muncul di layar TV atau media lain. Berbeda dengan da’i sejuta umat, K.H. Zainuddin M.Z., dan da’i manajemen kalbu, Aa Gym, Arifin Ilham tampil dengan gaya zikirnya yang menyejukkan. Seakan membawa jemaahnya terbang ke langit serta melupakan dunia yang fana.
Bergigi Sejak Lahir
Saat Arifin kecil itu tenggelam, ayahnya, H. Ilham Marzuki, yang
bekerja sebagai staf di Bank BNI 46 di Banjarmasin, tengah berada di luar kota.
Saat itu Arifin tengah bermain dengan kakaknya, Mursidah, sementara ibunya
tengah mencuci. “Saat bermain dengan kakak, saya tiba-tiba terpeleset dan
terjatuh ke sungai. Saya langsung tenggelam dan setelah itu saya tak sadar lagi
apa yang terjadi,” Arifin Ilham membuka kisah masa kecilnya di sela-sela
kegiatannya yang padat, antara lain mengisi siaran rohani di televisi.
Alhamdulillah, Arifin berhasil ditolong dan sehat kembali, sementara ibunya maupun kandungannya juga tak bermasalah. Pada 21 April 1971 (kandungan usia sembilan bulan sepuluh hari) ibunya melahirkan adik Arifin, Siti Hajar, dengan selamat.
Arifin Ilham adalah anak kedua dari lima bersaudara, dan dia satu-satunya anak lelaki. Ayah Arifin masih keturunan ketujuh Syeh Al-Banjar, ulama besar di Kalimantan, sementara ibunya, Hj. Nurhayati, kelahiran Haruyan, Kabupaten Barabay.
Setahun setelah menikah, pasangan ini melahirkan putri pertama
mereka tahun 1967. Karena anak pertama mereka perempuan, betapa bahagianya
mereka ketika anak keduanya adalah laki-laki. Nurhayati mengatakan bahwa saat
hamil anak keduanya itu, ia merasa biasa-biasa saja, tidak ada tanda-tanda
khusus. Hanya, berbeda dengan keempat putrinya, saat dalam kandungan, bayi yang
satu ini sangat aktif. Tendangan kakinya pun sangat kuat, sehingga sang ibu
acapkali meringis menahan rasa sakit.
Bayi yang lahir tanggal 8 Juni 1969 itu kemudian diberi nama Muhammad Arifin Ilham. Berbeda dengan keempat saudaranya yang lain, yang saat lahir berat mereka rata-rata 3 kilogram lebih, bayi yang satu ini beratnya 4,3 kilogram dengan panjang 50 sentimeter. “Anehnya, bayi itu sejak lahir sudah bergigi, yaitu di rahang bagian atasnya,” kenang Nurhayati.
Bayi itu selanjutnya tumbuh sehat. Usia setahun sudah bisa
berjalan dan tak lama setelah itu ia mulai bisa berbicara. Setelah Siti Hajar,
satu demi satu adik Arifin pun lahir. Yaitu, Qomariah yang lahir tanggal 17 Mei
1972 dan si bungsu Fitriani yang lahir tanggal 24 Oktober 1973.
Saat berusia lima tahun, Arifin dimasukkan oleh ibunya ke TK
Aisyiah dan setelah itu langsung ke SD Muhammadiyah tidak jauh dari rumahnya di
Banjarmasin. Arifin mengaku, saat masih di SD itu ia tergolong pemalas dan
bodoh. “Kata orang Banjarmasin, Arifin itu babal. Arifin baru bisa baca-tulis
huruf Latin setelah kelas 3,” kenang Arifin yang setiap kali berbicara tentang
dirinya selalu menyebut namanya sendiri.
Di SD Muhammadiyah ini Arifin hanya sampai kelas 3, karena berkelahi melawan teman sekelasnya. Masalahnya, dia tidak rela ada salah seorang temannya yang berbadan kecil diganggu oleh teman sekelasnya yang berbadan cukup besar. Arifin kalah berkelahi karena lawannya jagoan karate. Wajahnya babak belur dan bibirnya sobek. Agar tidak berkelahi lagi, oleh ayahnya Arifin kemudian dipindahkan ke SD Rajawali.
Rumah tempat tinggal orang tua Arifin terletak di Simpang Kertak Baru RT 7/RW 9, kota Banjarmasin, tepat di sebelah rumah neneknya, ibu dari ibunda Arifin. Sebagai pegawai Bank BNI 46, ayahnya sering kali bertugas ke luar kota Banjarmasin, kadang-kadang sampai dua-tiga bulan. Ayah Arifin mengakui bahwa ia tidak banyak berperan mendidik kelima anaknya, sehingga akhirnya yang banyak berperan mendidik Arifin adalah istri dan ibu mertuanya. Arifin mengungkapkan bahwa cara mendidik kedua orang tua itu keras sekali. “Baik Mama maupun Nenek kalau menghukum sukanya mencubit atau memukul. Dua-duanya turunan, kalau nyubit maupun memukul keras dan sakit sekali,” canda ustad muda itu.
Nenek Arifin sangat disiplin. Setiap pulang sekolah, Arifin kecil
diharuskan untuk tidur siang. Kalau tak bisa tidur, ia terpaksa berpura-pura
tidur, karena ditunggui dan dipelototi oleh sang nenek. Kalau mata melek
sedikit, neneknya langsung berteriak-teriak, “Tidur... tidur…!” Meski tak
ditunggu sekalipun, ia tak berani kabur karena kalau ketahuan pasti langsung
dicubit atau dipukuli. Meskipun semua saudaranya perempuan, mereka pernah
merasakan cubitan ibu maupun neneknya. “Nenek, kalau nyubit di paha, kenceng
sekali, sampai-sampai paha kami biru-biru semua,” tambahnya sembari tertawa.
Di masa kecil, Arifin lebih suka bermain dengan teman-teman yang
usianya lebih tua, sehingga ia dijuluki ‘ketu’, maksudnya, kecil tapi tua.
Akibatnya, meski secara fisik dan usianya masih bocah, penalarannya acapkali
seperti orang dewasa. Ibunda Arifin sangat terkesan dengan sifat sosial dari
anak lelaki satu-satunya itu. “Sejak kecil, Arifin sangat berjiwa sosial. Dulu,
ketika anak-anak masih kecil, setiap kali saya membagikan makanan dan di antara
saudaranya ada yang merasa kurang, maka bagian makanannya langsung diberikan
kepada saudaranya itu,” kenang sang ibu.
Ada satu kenangan yang tak pernah dilupakan oleh ibu dari lima
anak itu. Saat itu, Arifin, yang baru duduk di kelas IV SD, serta semua
saudaranya diajak jalan-jalan oleh kedua orang tuanya. Di tengah jalan, Arifin
tiba-tiba memohon kepada ayahnya agar menghentikan mobilnya. Begitu mobil
berhenti, ia segera turun. Rupanya, Arifin merasa iba melihat seorang lelaki
tua yang susah payah menarik gerobak yang sarat dengan bawaan, menaiki
jembatan. Bocah itu langsung membantu mendorong gerobak dari belakang sampai
akhirnya berhasil mendaki jembatan itu. “Setelah itu, Arifin masih memberi uang
kepada lelaki tua itu,” tutur Nurhayati, mengenang kelakuan putranya.
Kabur dari Rumah
Kabur dari Rumah
Kenakalan Arifin rupanya masih saja berlanjut, meskipun sudah
dipindahkan ke SD Rajawali. “Maklum, karena kami tinggal di kota, Arifin mulai
agak terpengaruh pada hal-hal yang sedikit negatif,” tutur Ilham Marzuki. ”Dia
mulai bisa bermain judi dengan uang kecil-kecilan dan merokok dengan
sembunyi-sembunyi.”
Menurut Arifin, ia tidak pernah berjudi dengan taruhan uang.
“Arifin memang suka bermain judi dadu, tapi taruhannya bukan uang,” sergahnya.
“Kalau Arifin berjudi, taruhannya kelereng. Kita pasang tiga kelereng, kalau
menang dapat 10 kelereng. Tapi, Arifin banyak kalahnya sehingga lama- kelamaan
duit Arifin pun habis untuk membeli kelereng. Karena masih ingin main judi,
Arifin pun mencuri. Saat Abah memanggil-manggil dan mengajak shalat berjemaah,
Arifin pura-pura mandi. Begitu Abah sudah mulai shalat, Arifin pun segera masuk
ke kamar Abah dan mengambil uang Abah yang ada di kamar. Arifin tak berani
mengambil banyak-banyak, hanya sekitar seribu rupiah!”
Pendidikan yang keras dan disiplin terhadap Arifin di rumah rupanya tidak selalu membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan kedua orang tuanya. Di luar rumah, Arifin menikmati dunianya sendiri, sehingga membuat kedua orang tuanya jadi semakin cemas. “Karena Abah sering ke luar kota, maka Arifin pun jadi kurang terkontrol dan nakal,” kata Arifin beralasan.
Pendidikan yang keras dan disiplin terhadap Arifin di rumah rupanya tidak selalu membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan kedua orang tuanya. Di luar rumah, Arifin menikmati dunianya sendiri, sehingga membuat kedua orang tuanya jadi semakin cemas. “Karena Abah sering ke luar kota, maka Arifin pun jadi kurang terkontrol dan nakal,” kata Arifin beralasan.
Oleh kedua orang tuanya Arifin pun didatangkan guru mengaji ke
rumah. Selain diharapkan pintar mengaji, kedua orang tuanya juga berharap agar
anak lelaki satu-satunya itu tidak banyak bermain di luar rumah. Tapi, apa yang
terjadi? Arifin justru membuat ulah yang aneh-aneh. Setiap kali guru mengaji
itu datang ke rumah, ia selalu saja dijaili Arifin. “Kadang-kadang Arifin
gembosin ban sepedanya, kadang-kadang ngumpetin sandalnya,” ujar Arifin
berterus terang.
Saat kelas 6 SD Arifin pernah mengancam akan membakar rumah orang
tuanya. Pasalnya, sang ayah tidak mau mengabulkan permintaannya. Rupanya, ia
minta dibelikan motor trail, tapi malah dibelikan motor Vespa. Ayahnya
khawatir, kalau dibelikan motor trail, Arifin akan main kebut-kebutan yang
tentu sangat membahayakan keselamatannya. “Biarpun harganya lebih mahal, motor
itu tidak trendi,” ujarnya jengkel.
Meski sudah menyiapkan minyak tanah dan korek api, orang tuanya tidak memperhatikan ancamannya itu. Arifin jadi kesal. Ia kemudian membuat ulah agar ayahnya naik pitam. Suatu sore, ketika banyak orang sedang bermain badminton di sebelah rumahnya, Arifin ikut bergabung bersama mereka. Ia tahu ayahnya sedang duduk-duduk di teras rumahnya dan dengan mudah bisa melihat apa yang diperbuatnya. Ia juga tahu ayahnya sangat tidak suka melihat orang merokok, terlebih itu dilakukan oleh anak kecil, seperti dirinya.
Arifin pun sesungguhnya tidak suka merokok. Tapi, untuk memancing
kemarahan ayahnya, ia sengaja merokok di depan ayahnya dan orang banyak. Begitu
sampai pada tiga empat isapan, sang ayah mendekatinya dan langsung menampar
sambil memarahinya. “Kamu ini nyontoh siapa, sih. Kamu, kok, jadi badung
seperti ini? Kamu mau jadi apa kalau sudah besar nanti?”
Tamparan itu tidak hanya mempermalukannya, tapi juga membuatnya
sakit lahir batin. Maklum, sewaktu muda ayahnya juga pernah berlatih karate,
sehingga pukulannya cukup mantap. Saat itu juga ia kabur dari rumah. Ia sangat
marah dan sakit hati sehingga tidak ingin pulang lagi ke rumah orang tuanya.
Tapi, begitu jauh dari rumah, ia bingung mau lari ke mana. Karena hari sudah
larut, maka ia putuskan singgah di rumah Ahmad, sahabat mainnya. Ia berpesan
kepada keluarga Ahmad agar tidak memberitahukan keberadaannya kepada kedua
orang tuanya. Tapi, diam-diam orang tua Ahmad memberitahukannya kepada Hj.
Nurhayati, ibu Arifin. Nurhayati kemudian memberikan sejumlah uang kepada orang
tua Ahmad untuk keperluan Arifin, baik untuk makan atau keperluan lain.
Arifin sama sekali tidak tahu bahwa ibunya sudah mengetahui
keberadaannya. Tapi, ia merasa ada sesuatu yang agak janggal. Ia tahu persis
bahwa kehidupan keluarga Ahmad tergolong susah. “Tapi, kenapa setiap hari
makanannya selalu lezat-lezat? Nasinya enak, lauknya pun lengkap, ada ikan,
daging, dan sebagainya,” papar Arifin.
“Rupanya, selama Arifin menginap di rumah ini, selalu disubsidi
Mama. Mama datang setiap hari dengan sembunyi-sembunyi, tanpa Arifin ketahui
atau pas Arifin tidak berada di rumah,” lanjutnya.
Memasuki hari kelima, Nurhayati datang ke rumah orang tua Ahmad
dan sengaja menemui Arifin. Ia memberi tahu bahwa ayahnya sakit keras gara-gara
memikirkan Arifin. Ia membujuk putranya agar segera pulang ke rumah. Arifin
trenyuh juga mendengar cerita itu dan saat itu pun ia bersedia pulang bersama
ibunya. Sampai di rumah, Arifin langsung memohon maaf kepada ayahnya yang
langsung memeluknya.
“Kami saling berpelukan dan bertangis-tangisan,” kenang Arifin
sendu. “Ini benar-benar seperti cerita sinetron!” lanjutnya bercanda.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Berlanjut ke Biografi K.H Ustad Muhammad Arifin Ilham - Bagian II
--------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !