ISLAM LOVERZ -- Warga di kota Tolitoli di penghujung bulan Ramadan 1427
Hijriah belum lama ini, dihebohkan dengan salah seorang pendeta bersama seluruh
keluarganya memeluk Islam. Di mana-mana santer dibicarakan soal Pendeta Yahya Yopie Waloni dan keluarganya masuk Islam. Bahkan media internet pun sudah
mengakses kabar ini. Bagaimana aktivitas eks pendeta itu setelah memeluk Islam.
Berikut kisahnya:
PAGI
menjelang siang hari itu, nuansa Idul Fitri 1427 Hijriah masih terasa di
Tolitoli. Hari itu baru memasuki hari ke-9 lebaran. Kendati terik panas
matahari masih mengitari Tolitoli dan sekitarnya, tetapi denyut aktivitas warga
tetap seperti biasa.
Begitupun
di sekitar jalan Bangau, Kelurahan Tuweley, Kelurahan Baru, Kabupaten Tolitoli.
Aktivitas sehari-hari warga berjalan seperti biasa. Kecuali di salah satu rumah
kost di jalan itu, pintunya tampak masih tertutup rapat. Di rumah kost inilah,
Yahya Yopie Waloni (36), bersama istrinya Lusiana (33) dan tiga orang anaknya
tinggal sementara.
“Pak
Yahya bersama istrinya baru saja keluar. Sebaiknya bapak tunggu saja di sini,
sebelum banyak orang. Karena kalau pak Yahya ada di sini banyak sekali tamunya.
Nanti bapak sulit ketemu beliau,” jelas ibu Ani, tetangga depan rumah Yahya
kepada Radar Sulteng.
Yahya
bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul
12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa, Sekretaris Pimpinan Cabang
Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah Yahya dengan tulus mengucapkan dua
kalimat syahadat.
Setelah
memeluk Islam, nama Yahya Yopie Waloni diganti dengan Muhammad Yahya, dan
istrinya Lusiana diganti dengan Mutmainnah. Begitupun ketiga anaknya. Putri
tertuanya Silvana (8 tahun) diganti dengan nama Nur Hidayah, Sarah (7 tahun)
menjadi Siti Sarah, dan putra bungsunya Zakaria (4 tahun) tetap menggunakan
nama itu.
Muhammad
Yahya sebelum memeluk Islam, pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Theologia
Calvinis di Sorong tahun 2000-2004. Saat itu juga ia sebagai pendeta dengan
status sebagai pelayan umum dan terdaftar pada Badan Pengelola Am Sinode GKI di
tanah Papua, Wilayah VI Sorong-Kaimana. Ia menetap di Sorong sejak tahun 1997.
Tahun 2004 ia kemudian pindah ke Balikpapan. Di sana ia menjadi dosen di
Universitas Balikpapan (Uniba) sampai tahun 2006. Yahya menginjakkan kaki di
kota Cengkeh, Tolitoli, tanggal 16 Agustus 2006.
Sambil
menunggu kedatangan Yahya, ibu Ani mempersilahkan Radar Sulteng masuk ke
rumahnya. Sebagai tetangga, Ibu Ani tahu banyak aktivitas yang terjadi di rumah
kontrakan Yahya. “Pak Yahya pindah di sini kira-kira baru tiga minggu lalu.
Sejak pindah, disini rame terus. Orang-orang bergantian datang. Ada yang datang
dengan keluarganya. Malah ada yang rombongan dengan truk dan Kijang pickup.
Karena rame sekali terpaksa dibuat sabua (tenda, red) dan drop kursi dari
kantor Lurah Tuweley,” cerita ibu Ani.
Hari
pertama Yahya pindah di Jalan Bangau itu, orang-orang berdatangan sambil
membawa sumbangan. Ada yang menyumbang belanga, kompor, kasur, televisi, Al-Quran,
gorden dan kursi. Mereka bersimpati karena Yahya sekeluarga saat pindah dari
tempat tinggal pertamanya hanya pakaian di badan. Rumah yang mereka tempati
sebelumnya di Tanah Abang, Kelurahan Panasakan adalah fasilitas yang diperoleh
atas bantuan gereja. Sehingga barang yang bukan miliknya ia tanggalkan
semuanya.
Tidak
lama menunggu di rumah Ibu Ani, datang dua orang ibu-ibu yang berpakaian dinas
pegawai negeri sipil. Keduanya juga mampir di rumah Ibu Ani. Salah satu dari
mereka adalah Hj Nurdiana, pegawai di Balitbang Diklat, Pemkab Tolitoli. Ibu
berjilbab ini ternyata guru mengaji. Dia adalah guru mengaji yang khusus
membimbing istri Yahya.
“Saya
baru tiga kali pertemuan dengan ibu Yahya. Supaya ibu Yahya mudah memahami
huruf hijjaiyah, saya menggunakan metode albarqy. Alhamdulillah sekarang
sedikit sudah bisa,” kata Nurdiana.
Menurutnya,
dia tidak kesulitan mengajari ibu Yahya. Malah, katanya, ibu Yahya cepat sekali
memahami huruf-huruf hijaiyah yang diajarkan. Karena itu dia memperkirakan
kemungkinan dalam waktu tidak lama ibu Yahya sudah bisa lancar mengaji.
Hanya
sekitar 20 menit menunggu di rumah ibu Ani, bunyi kendaraan sepeda motor butut
milik Yahya terdengar memasuki halaman rumah kontrakannya. Radar Sulteng
diterima dengan senang hati, lalu dipersilahkan duduk di sofa. Sementara Yahya
memilih duduk di lantai alas karpet. Badannya disandarkan ke kursi sofa. “Kita
lebih senang duduk di bawah sini,” tuturnya dengan logat kental Manado.
Cara
duduk Yahya, tampak tidak tenang. Sesekali ia membuka kedua selangkangnya.
Ternyata karena baru beberapa hari selesai disunat. “Setelah tiga hari saya
masuk Islam, saya langsung minta disunat di rumah ini,” cerita Yahya, sesekali
disertai canda.
Penataan
interior rumah kost Yahya tampak apik. Di dinding ruang tamu tampak terpampang
kaligrafi ayat kursi yang dibingkai dengan warna keemasan. Di sisi lain,
kaligrafi Allah-Muhammad juga terpampang. Di meja ruang tamu terdapat dua buah
Al-Quran lengkap terjemahannya. Di tengah meja itu, juga masih ada tiga toples
kue lebaran. “Rumah ini saya kontrak sementara. Saya sudah bayar Rp 2,5 juta,”
rinci Yahya.
Di
tengah asiknya bercerita, istri Yahya, Mutmainnah menyuguhkan beberapa cangkir
teh panas. “Silahkan diminum teh panasnya,” kata ibu tiga anak ini yang saat
itu mengenakan jilbab cokelat.
Tidak
lama kemudian, dia masuk di salah satu kamar dan mengajak guru mengajinya Hj
Nurdiana bersama rekannya. Dari balik kamar itulah terdengar suara Mutmainnah
yang sedang mengeja satu per satu huruf hijaiyah. Terdengar memang masih kaku,
tetapi berulang-ulang satu per satu huruf-huruf Alquran itu dilafalkannya.
Lain
halnya dengan suaminya, Yahya. Pria kelahiran Manado ini mengaku sudah bisa
melafalkan beberapa ayat setelah beberapa kali diajarkan mengaji oleh Komarudin
Sofa. Selain Komarudin, selama ini ia juga mendapat bimbingan dari ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tolitoli, Yusuf Yamani. “Hanya lima menit saya
diajarkan. Saya langsung paham. Surat Fatihah saya sudah hafal,” ujar Yahya.
Selain
belajar mengaji dan menerima tamu, aktivitas Yahya juga kerap menghadiri
undangan di beberapa masjid. Tidak hanya dalam kota, tetapi sampai ke desa-desa
di Kabupaten Tolitoli. “Saya ditemani beberapa orang. Ada juga dari Departemen
Agama,” katanya.
Yahya
bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul
12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa, sekretaris Pimpinan Cabang
Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. “Hari itu saya sudah mengucapkan dua kalimat
syahadat yang dituntun Pak Komarudin,” cerita Yahya.
PAK
Yahya, begitu sapaan akrabnya. Pria kelahiran Manado tahun 1970 ini lahir dari
kalangan terdidik dan disiplin. Ayahnya seorang pensiunan tentara. Sekarang
menjabat anggota DPRD di salah satu kabupaten baru di Sulawesi Utara. Sebagai
putra bungsu dari tujuh bersaudara, Yahya saat bujang termasuk salah seorang
generasi yang nakal. “Saya tidak perlu cerita masa lalu saya. Yang pasti saya
juga dulu pernah nakal,” tukasnya.
Lantaran
kenakalannya itulah mungkin, sehingga beberapa bagian badannya terdapat bekas
tato. Di lengannya terdapat bekas luka setrika untuk menghilangkan tatonya. “Ini
dulu bekas tato. Tapi semua sudah saya setrika,” katanya sambil menunjuk
bekas-bekas tatonya itu.
Postur
tubuhnya memang tampak mendukung. Tinggi dan tegap. Meski ia pernah nakal,
tetapi pendidikan formalnya sampai ke tingkat doktor. Ia menyandang gelar
doktor teologi jurusan filsafat. Saat ditemui, Yahya memperlihatkan ijazah asli
yang dikeluarkan Institut Theologia Oikumene Imanuel Manado tertanggal 10
Januari 2004. Sehingga titel yang didapatnya pun akhirnya lengkap menjadi Dr
Yahya Yopie Waloni, S.TH, M.TH.
Sebelum
menyatakan dirinya masuk Islam, beberapa hari sebelumnya Yahya mengaku sempat
bertemu dengan seorang penjual ikan, di rumah lamanya, kompleks Tanah Abang,
Kelurahan Panasakan, Tolitoli. Pertemuannya dengan si penjual ikan berlangsung
tiga kali berturut-turut. Dan anehnya lagi, jam pertemuannya dengan si penjual
ikan itu, tidak pernah meleset dari pukul 09.45 Wita.
“Kepada
saya si penjual ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa Bugis artinya
sepupu). Dia juga panggil saya Sappo. Tapi dia baik sekali dengan saya,” cerita
Yahya.
Setiap
kali ketemu dengan si penjual ikan itu, Yahya mengaku berdialog panjang soal
Islam. Tapi Yahya mengaku aneh, karena si penjual ikan yang mengaku tidak lulus
Sekolah Dasar (SD) tetapi begitu mahir dalam menceritakan soal Islam.
Pertemuan
ketiga kalinya, lanjut Yahya, si penjual ikan itu sudah tampak lelah. “Karena
saya lihat sudah lelah, saya bilang, buka puasa saja. Tapi si penjual ikan itu
tetap ngotot tidak mau buka puasanya,” cerita Yahya, yang ditemui di rumah
kontrakannya.
Sampai
saat ini Yahya mengaku tidak pernah lagi bertemu dengan penjual ikan itu. Si
penjual ikan mengaku dari dusun Doyan, desa Sandana (salah satu desa di sebelah
utara kota Tolitoli). Meski sudah beberapa orang yang mencarinya hingga ke
Doyan, dengan ciri-ciri yang dijelaskan Yahya, tapi si penjual ikan itu tetap
tidak ditemukan.
Sejak
pertemuannya dengan si penjual ikan itulah katanya, konflik internal keluarga
Yahya dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana (sekarang Mutmainnah, red),
tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Ia tetap bertahan pada agama yang
dianut sebelumnya. “Malah saya dianggap sudah gila,” katanya.
Tidak
lama setelah itu, kata Yahya, tepatnya 17 Ramadan 1427 Hijriah atau tanggal 10
Oktober sekitar pukul 23.00 Wita. Ia antara sadar dengan tidak mengaku mimpi
bertemu dengan seseorang yang berpakaian serba putih, duduk di atas kursi.
Sementara Yahya di lantai dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan
dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu. “Saya dialog dengan bapak
itu. Namanya, katanya Lailatulkadar,” ujar Yahya mengisahkan.
Setelah
dari itu, Yahya kemudian berada di satu tempat yang dia sendiri tidak pernah
melihat tempat itu sebelumnya. Di tempat itulah, Yahya menengadah ke atas dan
melihat ada pintu buka-tutup. Tidak lama berselang, dua perempuan masuk ke
dalam. Perempuan yang pertama masuk, tanpa hambatan apa-apa. Namun perempuan yang
kedua, tersengat api panas.
“Setelah
saya sadar dari mimpi itu, seluruh badan saya, mulai dari ujung kaki sampai
kepala berkeringat. Saya seperti orang yang kena malaria. Saya sudah minum
obat, tapi tidak ada perubahan. Tetap saja begitu,” cerita Yahya.
Sekitar
dua jam dari peristiwa itu, di sebelah kamar, dia mendengar suara tangisan.
Orang itu menangis terus seperti layaknya anak kecil. Yahya yang masih dalam
kondisi panas-dingin, menghampiri suara tangisan itu. Ternyata, yang menangis
itu adalah istrinya, Mutmainnah.
“Saya
kaget. Kenapa istri saya tiba-tiba menangis. Saya tanya kenapa menangis. Dia
tidak menjawab, malah langsung memeluk saya,” tutur Yahya.
Ternyata
tangisan istri Yahya itu mengandung arti yang luar biasa. Ia menangis karena
mimpi yang diceritakan suaminya kepadanya, sama dengan apa yang dimimpikan
Mutmainnah. “Tadinya saya sudah hampir cerai dengan istri, karena dia tetap
bertahan pada agama yang ia anut. Tapi karena mimpi itulah, malah akhirnya
istri saya yang mengajak,” tandasnya.
Masuknya
Yahya ke agama Islam, menimbulkan banyak interpretasi. Menurut Yahya, ada yang
menyebut dirinya orang gila. Ada juga yang meragukannya, dan mungkin masih
banyak interpretasi lain lagi tentang dirinya. “Tapi cukup saja sampai pada
interpretasi, jangan lagi melebar ke yang lain,” pungkasnya
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber : Radar Sulteng – Mualaf.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !