ISLAM LOVERZ -- Malcolm-X.
Siapa tak kagum dengan sosok pria Afro-Amerika Muslim ini dalam memperjuangkan
hak warga kulit hitam. Dia juga dikenal sebagai tokoh antirasisme yang
menginspirasi banyak orang.
Meski
telah wafat sekitar 48 tahun silam, buku dan film biografinya mengekalkan visi
antirasisme dan nilai humanis Islam yang ia seru selama hidupnya. Sara, wanita
Australia keturunan Yahudi, adalah salah seorang yang mendapat semangat sang
Malcolm.
Saat itu, Sara baru berusia 22 tahun. Bersama teman-teman kuliahnya, ia menonton film Malcolm-X yang dirilis pada 1992. Selama film diputar, tak ada yang dirasakan Sara kecuali rasa kagum.
Saat itu, Sara baru berusia 22 tahun. Bersama teman-teman kuliahnya, ia menonton film Malcolm-X yang dirilis pada 1992. Selama film diputar, tak ada yang dirasakan Sara kecuali rasa kagum.
Ia
bahkan berlutut selama berjam-jam di sebuah lorong sepulang menonton film,
mematung dan tak mampu bergerak apalagi berkata-kata. “Saat itu aku benar-benar
sangat tersentuh hingga berlutut di lorong jalan. Aku tak tahu mengapa
melakukan itu… yang kuingat, aku melakukan itu karena sangat tersentuh,” tutur
Sara.
Dalam
film itu, ia mengaku sangat terkesan dengan adegan yang mengisahkan perjalanan
Malcolm ke Tanah Suci. Saat berhaji, Malcolm yang sebelumnya menganggap warga
kulit putih adalah setan, menyadari bahwa di hadapan Allah seluruh bangsa baik
kulit putih maupun hitam adalah sama.
Mereka
sama-sama menyerahkan diri, beribadah kepada-Nya. Malcolm pun menyadari bahwa
memperjuangkan hak warga kulit hitam bukanlah dengan membenci warga kulit
putih.
“Perjalanan haji telah membuka cakrawala berpikir saya. Saya melihat hal yang tidak pernah saya lihat selama 39 tahun hidup di Amerika Serikat. Saya melihat semua ras dan warna kulit bersaudara dan beribadah kepada satu Tuhan tanpa menyekutukan-Nya,” kata Malcolm dalam film itu.
“Perjalanan haji telah membuka cakrawala berpikir saya. Saya melihat hal yang tidak pernah saya lihat selama 39 tahun hidup di Amerika Serikat. Saya melihat semua ras dan warna kulit bersaudara dan beribadah kepada satu Tuhan tanpa menyekutukan-Nya,” kata Malcolm dalam film itu.
“Kebenaran
Islam telah menunjukkan kepadaku bahwa kebencian membabi buta kepada semua
orang putih adalah sikap yang salah. Sama halnya jika sikap yang sama dilakukan
orang kulit putih terhadap orang kulit hitam.”
Ada
dua hal yang membuat Sara tersentuh oleh kata-kata itu.
Pertama,
seorang tokoh besar seperti Malcolm mengakui kesalahannya terkait pandangannya
mengenai kulit putih.
Kedua,
fakta yang diungkap Malcolm bahwa tak ada perbedaan etnis dalam Islam.
“Aku terkesan dengan kerendahan hatinya. Aku juga terkesan pada fakta ketika ia (Malcolm) pergi ke Makkah dan berujar, ‘Wow, di sini adalah tempat kesetaraan ras.’ Hal itu benar-benar menginspirasiku,” ujar Sara.
“Aku terkesan dengan kerendahan hatinya. Aku juga terkesan pada fakta ketika ia (Malcolm) pergi ke Makkah dan berujar, ‘Wow, di sini adalah tempat kesetaraan ras.’ Hal itu benar-benar menginspirasiku,” ujar Sara.
Meski berdarah
Yahudi, Sara mengakui, keluarganya bukanlah penganut agama Yahudi yang taat.
Kakeknya
merupakan Yahudi murtad yang beralih ke agama Mormonisme. Ibunya pun seorang
misionaris Mormon. Namun, keduanya bahkan seluruh keluarganya tak benar-benar
meyakini agama manapun, namun tak pula mengakui sebagai penganut ateis.
“Jadi, aku
dibesarkan tanpa agama mana pun dengan benar, kecuali apa yang aku kira menjadi
budaya Australia, seperti pergi ke sekolah Minggu dan sebagainya,” kenang Sara.
Saat beranjak dewasa, Sara pindah ke Sydney untuk kuliah dan bekerja. Di sanalah ia menonton Malcolm-X, sebuah film yang mengawali perjalanan panjangnya mengenal Islam.
Sepucuk undangan
Saat beranjak dewasa, Sara pindah ke Sydney untuk kuliah dan bekerja. Di sanalah ia menonton Malcolm-X, sebuah film yang mengawali perjalanan panjangnya mengenal Islam.
Sepucuk undangan
Beberapa tahun
setelah menonton film itu, Sara belum benar-benar menemukan kesejatian Islam. Namun, ia menjadi penggemar berat
sosok Malcolm-X yang notabene seorang Muslim. Ia pun terus bertanya-tanya dan
penasaran akan agama Islam. Namun, pernikahannya dan kesibukan berkeluarga
melupakan sejenak rasa penasaran Sara.
Hingga suatu hari, ia mendapat undangan untuk menghadiri kegiatan “Hari Dakwah” yang diselenggarakan sebuah komunitas Muslimah.
Hingga suatu hari, ia mendapat undangan untuk menghadiri kegiatan “Hari Dakwah” yang diselenggarakan sebuah komunitas Muslimah.
Kegiatan ini
bertujuan menjembatani kesenjangan antara Muslim dan non-Muslim, terutama
menyusul merebaknya kesalahpahaman terhadap Islam pasca peristiwa 11 September.
Mendapati undangan dari sebuah milis (mailing list) tersebut, Sara pun teringat kembali akan ketertarikannya pada Islam. “Aku pun mengikuti kegiatan itu,” katanya.
Mendapati undangan dari sebuah milis (mailing list) tersebut, Sara pun teringat kembali akan ketertarikannya pada Islam. “Aku pun mengikuti kegiatan itu,” katanya.
Tiba di lokasi
acara, Sara mendapati seluruh wanita mengenakan jilbab. Bahkan, wanita pertama
yang menyambutnya di depan pintu memakai burqa hingga seluruh tubuhnya
tertutup.
Namun, ia tak merasa terganggu. “Justru setiap saya melihat wanita yang mengenakan burqa atau niqab (cadar), saya menilai ia seorang yang amat religius,” ujar ibu dua anak itu.
Namun, ia tak merasa terganggu. “Justru setiap saya melihat wanita yang mengenakan burqa atau niqab (cadar), saya menilai ia seorang yang amat religius,” ujar ibu dua anak itu.
Sara mengikuti
acara dari awal hingga usai. Ia terhanyut dengan pengetahuan Islam yang ia
dapatkan di sana. Sebuah pengetahuan yang menurutnya tak mungkin diperoleh di
bangku pendidikan.
Sebuah
pengetahuan yang sangat berharga, layaknya harta karun yang selama ini tak
pernah dilihatnya. Ia benar-benar mendapat hari yang sangat menakjubkan.
Rasa takjub
Sara pun memuncak saat dibacakan ayat-ayat Alquran. Saat itulah, ia merasa
menyesal mengapa selama ini tak pernah membaca kitab suci umat Islam ini,
padahal telah banyak buku agama yang ia baca.
“Aku merasa
ingin menangis. (Alquran) begitu indah. Ia adalah hal paling suci yang pernah
kudengar,” ujarnya lirih.
Sepulang
mengikuti kegiatan itu, Sara diam-diam membaca Alquran. Selama beberapa bulan,
ia terhanyut dengan isi Alquran yang begitu menakjubkan.
Meski belum
bersyahadat, Sara merasa ingin melakukan apa yang ia baca. Ia pun mulai
mengenakan pakaian tertutup meski belum berjilbab. Ia bersilaturahim dengan
menemui komunitas Muslim.
Perubahan Sara
mulai dirasa janggal oleh sang suami. Sara pun mulai mencoba membicarakan
tentang Islam pada suaminya, namun tak pernah berhasil. Sang suami selalu
menganggap pembicaraan tentang Islam sebagai omong kosong dan angin lalu.
Bersyahadat bareng suami
Bersyahadat bareng suami
Terkejut.
Itulah yang dirasakan Sara tatkala suatu hari suaminya yang selama ini enggan
membicarakan Islam tiba-tiba ingin bersyahadat bersamanya. Hal itu bermula saat
ayah mertua Sara meninggal dunia.
Beberapa saat
setelah kabar kematian itu datang, suaminya mendapat kiriman Alquran dari
seorang teman Sara di kegiatan “Hari Dakwah”. Pasangan suami istri ini kemudian
takziah ke Melbourne, tempat jenazah dimakamkan.
Di tengah
kedukaan, Sara terkesima dengan pengurusan jenazah Muslim yang sangat
sederhana. Meski suami Sara bukan seorang Muslim, ia merupakan keturunan Turki
Muslim.
“Saya sangat terkesan. Orang-orang menempatkan ayah di liang lahat dengan
tangan mereka. Benar-benar membuat saya tersentuh. Itu semua adalah bagian yang
juga datang dari Islam,” kata Sara.
Sepulang dari
pemakaman, Sara berbincang dengan sang suami di dalam mobil. Sara menyatakan
telah memantapkan hati untuk bersyahadat dan benar-benar akan memeluk agama
Islam. “Aku ingin melantunkan syahadat hari ini,” kata Sara kepada sang suami.
Sungguh
mengejutkan karena Sara tak mendapati penolakan ataupun penyangkalan dari sang
suami. Lebih mengejutkan lagi, suaminya juga menyatakan keinginan untuk menjadi
Muslim.
“Aku terkejut
sekaligus gembira. Selama ini aku khawatir apa yang akan terjadi jika aku
menjadi seorang Muslim sementara suami tak menginginkannya.”
Malam itu, Sara
bersama suami memasuki masjid. Disaksikan sejumlah kerabat dan teman, mereka
duduk di depan seorang imam. Keduanya pun mengucapkan syahadat, meyakini satu Tuhan,
yaitu ALLAH Swt, dan memulai perjalanan hidup sebagai seorang Muslim dan
Muslimah.
Baca Juga :
Mengapa Kita Harus Berdzikir?
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !